EKONOMI
MATERI : OTORITAS JASA KEUANGAN DAN
SISTEM PEMBAYARAN
Di Susun Oleh :
Nama : MUH. ADHA
Kelas : X MIA 4
SMA NEGERI 1 DOMPU
TAHUN AJARAN 2013-2014
O J K ( OTORITAS
JASA KEUANGAN)
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan
seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana
pensiun dan asuransi sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di
Indonesia yang perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik
segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.
Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan
tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki
otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan
ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas
kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan,
tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa
penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi
jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu
Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana
Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa
keuangan lainnya. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya UU ini selain
pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa
kali dirubah, yakni :
·
Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan
yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam
perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem
perekonomian nasional.
·
Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan
dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial
telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling
terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.
·
Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan
kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah
kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem
keuangan.
·
Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa
keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan
konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Harapan penataan melalui UU No.21 Tentang Otoritas Jasa Keuangan :
- Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi
yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam
sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas
sistem keuangan.
- Agar pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa
keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi
Sebagaimana diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat
sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan
membentuk OJK yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun
2002. Meskipun OJK dibidani berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan oleh UU,
nyatanya sampai dengan 2002 draf pembentukan OJK belum ada, sampai akhirnya UU
No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004
yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Setelah lebih dari tiga tahun akhirnya sidang paripurna DPR pada tanggal 19
Desember 2003 menyelesaikan amandemen Undang-Undang Bank Indonesia. Usulan
amendemen ini semula diajukan semasa pemerintahan Presiden Gus Dur.
Undang-undang hasil amendemen ini disebut oleh Menteri Keuangan Boediono
sebagai undang-undang bank sentral modern. Salah satu masalah krusial yang
memperlambat proses amendemen ini adalah menentukan siapa yang berwenang
mengawasi industri perbankan. Terjadi tarik ulur yang alot antara Bank
Indonesia dan pemerintah yang dalam kaitan ini diwakili oleh Departemen
Keuangan. Kompromi yang dicapai akhirnya menetapkan bahwa OJK akan dibentuk
paling lambat tahun 2010. Sebelum diamandemen bunyi ketentuannya adalah Lembaga
Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi OJK) paling lambat sudah
harus dibentuk pada akhir Desember 2002.
v Tujuan OJK
(Otoritas Jasa Keuangan)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
- Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
- Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan
- Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
v Fungsi OJK (Otoritas
Jasa Keuangan)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
sektor jasa keuangan.
v Tugas OJK (Otoritas
Jasa Keuangan)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai tugas melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar
Modal, dan sektor IKNB.
v Hubungan Kelembagaan
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain :
- Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
- Sistem informasi perbankan yang terpadu;
- Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta
asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
- Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
- Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important
bank; dan
- data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan
informasi.
Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota terdiri atas:
- Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;
- Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
- Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
- Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.
v Tugas dan Wewenang OJK
(Otoritas Jasa Keuangan)
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
- kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
- kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan
- kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang:
- menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
- menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
- menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
- menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
- menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
- menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
- menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada Lembaga Jasa Keuangan;
- menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
- menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
- menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
- mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
- melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau
penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
- memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
pihak tertentu;
- melakukan penunjukan pengelola statuter;
- menetapkan penggunaan pengelola statuter;
- menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
dan
- memberikan dan/atau mencabut:
1. izin usaha;
- izin orang perseorangan;
- efektifnya pernyataan pendaftaran;
- surat tanda terdaftar;
- persetujuan melakukan kegiatan usaha;
- pengesahan;
- persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
- penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
v Pengaturan dan
pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1.
Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset,
rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman
terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2.
Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja
bank;
3.
Sistem informasi debitur;
4.
Pengujian kredit (credit testing); dan
5.
Standar akuntansi bank;
v
Dewan Komisioner
Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial.
Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Susunan Dewan Komisioner terdiri atas:
- seorang Ketua merangkap anggota;
- seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
- seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
- seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal merangkap anggota;
- seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap
anggota;
- seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
- seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;
- seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia; dan
- seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
v Perlindungan Konsumen
dan Masyarakat
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan
tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
- Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik
sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
- Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila
kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
- Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
v OJK Melaksanakan Tugas
Peraturan dan Pengawasan Terhadap :
1.
Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
2.
Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
3.
Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
v Pembentukan OJK
Menurut Pakar Ahli Ekonomi
6.
Menkeu Agus Martowardojo: Pembentukan OJK diperlukan
guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain,
pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan
di Indonesia.
7.
Fuad Rahmany: menyatakan bahwa OJK akan menghilangkan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul.
Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah.
8.
Darmin Nasution: OJK adalah untuk mencari efisiensi di
sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu perekonomian
yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan.
9.
Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad: terdapat empat
pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka
kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi
terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik.
Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan
sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga.
v Ketentuan Peralihan
Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari
Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank
Indonesia ke OJK.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467) dan peraturan pelaksanaannya;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 1992 Nomor 7
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) dan peraturan
pelaksanaannya;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3477) dan peraturan pelaksanaannya;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608) dan peraturan pelaksanaannya;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962) dan peraturan pelaksanaannya;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867) dan peraturan pelaksanaannya; dan
- peraturan perundang-undangan lainnya di sektor jasa keuangan.
SISTEM PEMBAYARAN
Sistem pembayaran adalah sistem yang
mencakup seperangkat aturan, lembaga dan mekanisme yang digunakan untuk
melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari
suatu kegiatan ekonomi.[1] Sistem
Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai
uang dari satu pihak ke pihak lain. Media yang digunakan untuk pemindahan nilai
uang tersebut sangat beragam, mulai dari penggunaan alat pembayaran yang
sederhana sampai pada penggunaan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai
lembaga berikut aturan mainnya. Kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang
dituangkan dalam Undang Undang Bank Indonesia.
Dalam menjalankan mandat tersebut, Bank Indonesia mengacu pada
empat prinsip kebijakan sistem pembayaran, yakni keamanan, efisiensi,
kesetaraan akses dan perlindungan konsumen.
- Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko
likuiditas, risiko kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan
dimitigasi dengan baik oleh setiap penyelenggaraan sistem pembayaran.
- Prinsip efisiensi menekankan bahwa penyelanggaran sistem pembayaran
harus dapat digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung
masyarakat akan lebih murah karena meningkatnya skala ekonomi.
- Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti bahwa Bank
Indonesia tidak menginginkan adanya praktek monopoli pada
penyelenggaraan suatu sistem yang dapat menghambat pemain lain untuk
masuk.
- Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran
untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.
Sementara itu dalam kaitannya sebagai lembaga yang melakukan pengedaran
uang, kelancaran sistem pembayaran diejawantahkan dengan terjaganya jumlah uang
tunai yang beredar di masyarakat dan dalam kondisi yang layak edar atau biasa
disebut clean money policy.
Secara garis besar Sistem pembayaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu Sistem
pembayaran tunai dan Sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan mendasar dari kedua
jenis sistem pembayaran tersebut terletak pada instrumen yang digunakan. Pada
sistem pembayaran tunai instrumen yang digunakan berupa uang kartal, yaitu uang dalam bentuk
fisik uang kertas dan uang logam, sedangkan
pada sistem pembayaran non-tunai instrumen yang digunakan berupa Alat
pembayaran menggunakan kartu (APMK), Cek, Bilyet Giro, Nota Debet, maupun uang
elektronik.
Uang kertas dan uang logam terdiri dari beberapa pecahan dengan masing-masing tahun emisinya sebagai berikut: Pecahan uang kertas dan uang logam beserta gambar.
v Ruang Lingkup Sistem
Pembayaran (SP)
Ruang lingkup sistem pembayaran:
1. Nilai besar,
diselenggarakan oleh Bank Indonesia:
ü Bank Indonesia
Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)
ü Bank Indonesia
Scripless Securities Settlement (BI-SSSS)
- Nilai kecil:
ü Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI), diselenggarakan oleh Bank Indonesia
ü instrumen
pembayaran elektronis, diselenggarakan oleh industri (Bank dan non-Bank):
1.
Kartu kredit
2.
Kartu ATM/Debit
3.
Kartu prabayar (prepaid)
ü Kegiatan usaha
pengiriman uang (KUPU), diselenggarakan oleh industri (Bank dan non-Bank)
Penyelenggara sistem pembayaran non-Bank saat ini terdiri dari Institusi
jasa keuangan, Koperasi dan Institusi penyedia jasa telekomunikasi.
Selain hal-hal di atas, masih terdapat instumen pembayaran lain yaitu e-wallet. Beberapa
contoh yang termasuk dalam kategori e-wallet adalah PayPal, Doku, Rakuten, dan RekBer. Kategori
e-wallet belum diatur oleh Bank Indonesia.
v Komponen Sistem
Pembayaran
Komponen-komponen yang membangun sebuah sistem pembayaran terdiri dari
Regulator, Penyelenggara, Infrastruktur, Instrumen, dan Pengguna.
- Regulator berwenang mengatur aturan main, ketentuan, dan kebijakan
yang mengikat seluruh komponen sistem pembayaran.
- Penyelenggara adalah lembaga yang memastikan penyelesaian akhir dari
seluruh transaksi yang terjadi di penggunanya.
- Infrastrukur adalah sarana fisik yang mendukung operasional sistem
pembayaran.
- Instrumen adalah alat pembayaran baik tunai maupun non-tunai yang
disepakati oleh para pengguna dalam melakukan transaksi.
- Pengguna adalah konsumen yang memanfaatkan Sistem
pembayaran.
v Volume Transaksi
Perkembangan volume transaksi BI-RTGS:
Keterangan
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011*)
|
Volume (juta transaksi)
|
8,61
|
10,32
|
11,22
|
14,00
|
11,71
|
Nominal (juta rupiah)
|
42.925,97
|
39.622,13
|
34.194,45
|
54.169,75
|
45.772,96
|
Ø Perkembangan
transaksi SKNBI:
Keterangan
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011*)
|
Volume (juta transaksi)
|
79,22
|
85,59
|
82,33
|
90,96
|
72,23
|
Nominal (juta rupiah)
|
1.400,49
|
1.663,98
|
1.559,65
|
1.747,70
|
1.442,90
|
Ø Perkembangan
transaksi APMK:
Account based:
Account based:
Keterangan
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011*)
|
Volume (juta transaksi)
|
1.103,23
|
1.353,81
|
1.561,16
|
1.812,08
|
1.461,69
|
Nominal (juta rupiah)
|
1.679,40
|
2.056,18
|
1.811,50
|
2.001,85
|
1.608,24
|
Ø Kartu kredit:
Keterangan
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011*)
|
Volume (juta transaksi)
|
129,29
|
166,74
|
182,62
|
199,04
|
137,81
|
Nominal (juta rupiah)
|
72,60
|
107,27
|
136,69
|
163,21
|
119,63
|
Ø Perkembangan
transaksi uang elektronik:
Keterangan
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011*)
|
Volume (juta transaksi)
|
0,59
|
2,56
|
17,44
|
26,54
|
24,86
|
Nominal (juta rupiah)
|
5,27
|
76,68
|
519,21
|
693,47
|
617,01
|
Ø Perkembangan
transaksi KUPU Non-Bank:
Keterangan
|
2009
|
2010
|
2011*)
|
Volume (juta transaksi)
|
130,88
|
987,05
|
1.117,92
|
Nominal (juta rupiah)
|
954,31
|
4.230,95
|
5.185,26
|
v Isu Strategis
Ø Evaluasi
ketentuan kartu kredit
o Peningkatan
aspek keamanan dalam penyelenggaraan kartu kredit
o Peningkatan
aspek prudential dalam kartu kredit
o Aspek
perlindungan bagi pemegang kartu kredit (penggunaan tenaga pihak ketiga dalam
penagihan kartu kredit)
Ø Migrasi chip
pada kartu ATM/Debet
o Penggunaan
standard teknologi chip yang disepakati industri dan telah disetujui Bank
Indonesia
o Mengganti
sarana otentikasi dari tanda tangan menjadi PIN minimal 6 digit
Ø Peningkatan
status penyelenggara KUPU sebagai dampak diberlakukannya Undang-Undang No.3
tahun 2011 tentang Transfer Dana dimana setiap penyelenggara transfer dana
harus berbadan hukum.
Ø Menghadapi
Asean Economic Community. Berkaitan denga perdagangan bebas antar anggota
negara ASEAN dalam Wawasan 2020 ASEAN. Dengan adanya kemajuan teknologi, lintas batas antar
negara menjadi tidak ada artinya.
Ø Memfasilitasi pembentukan Self Regulating
Organization, misal Komite Bye-Laws dan focus group SKNBI.
v Arah Pengembangan
Ø Pengembangan
sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II
o
Peningkatan efisiensi likuiditas transaksi pembayaran
nilai besar
o
Penyesuaian terhadap standard industri keuangan
internasional
o
Peningkatan kapasitas transaksi pada sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS
Ø Mendorong
terbentuknya National Payment Gateway (NPG)
o
Peningkatan efisiensi investasi infrastruktur secara
nasional dalam industri
o
Penurunan biaya penyelenggaraan transaksi baik dari
sisi industri maupun pengguna
0 komentar:
Posting Komentar