Senin, 24 Agustus 2015

Makalah Peristiwa Tanjung Priok 1984 - SMAN1DOMPU

MAKALAH PKN
Materi : “Tragedi Tanjung Priok”



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinw_oVFxygHuRWamQyIr_fct30TxVVZM3vwxvbWqZyTJqymCFN-0vYHkhRBJfzn_V9JwPCHvCuMoRCpqX3QUTaVHh9Bg_yiBgT_ThfYStQHHp9U8MCLRlk2yeYmCWe_S4pDRLOiGQviAc/s1600/tanjung_priok_harbour_1935.jpg 


Di Susun Oleh Kelompok 4
1.     Muh. Adha
2.    Muhammad Faisal
3.    Muhammad Ridwan
4.   Muhammad Zakir
5.    Novitasari



SMA NEGERI 1 DOMPU
TAHUN AJARAN 2015 2016





KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb
            Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan karunian-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Kasus Tanjung Priok 1984  ini. Semoga rahmat dan salam selalu tercurah kepada kita sebagaimana Allah SWT. curahkan kepada nabi besar kita Muhammad SAW.
            Makalah Kasus Tanjung Priok 1984 ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hak Asasi Manusia yang merupakan suatu pelatihan bagi mahasiswa. Disamping itu juga berfungsi sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan dan mengembangkan kreativitas kerja mahasiswa.
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu selama pembuatan makalah ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami buat ini memiliki banyak sekali kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum wr. wb
DOMPU, 25 AGUSTUS 2015


      Penyusun

















DAFTAR ISI
Kata Pengantar .........................................................................................................................1
Daftar Isi ...................................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................................................3

Latar Belakang ..........................................................................................................................3
Rumusan Masalah ....................................................................................................................3
Tujuan .......................................................................................................................................3

BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................................4

a.      Latar belakang Peristiwa Tanjung Priok 1984 ...............................................................4
·         Sebab Umum dan Sebab Khusus ............................................................................4
b.      Peristiwa Berdarah Tanjung Priok 1984 .......................................................................5
c.       Penanganan kejadian ...................................................................................................7
d.      Pelanggaran HAM .......................................................................................................10

BAB 3 PENUTUP ......................................................................................................................13

Kesimpulan .............................................................................................................................13

Daftar Pustaka .......................................................................................................................14








BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila. Pemerintah Orde Baru pada era tahun 1980-an menginginkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia sehingga pemerintah saat itu mensosialisasikan Rancangan Undang-Undang (RUU) No 5/1985 tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto akan mendorong adanya asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia. Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar tokoh Islam di Indonesia. Soeharto, dengan gaya anti-komunisnya, menyatakan tidak perlu khawatir karena Pancasila itu sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa, jadi soal-soal spiritual tidak akan terbengkalai walau digantikan dengan Pancasila.
Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara hukum. Namun kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum mampu ditangani oleh pemerintah, khususnya kasus-kasus pada masa Orde Baru, salah satu kasus tersebut adalah Peristiwa Tanjung Priok 1984. Makalah ini mengangkat tema Peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai objek penelitian, karena mengingat peristiwa ini merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang dampaknya berkelanjutan hingga saat ini. Kemudian Peristiwa Tanjung Priok 1984 ini juga adalah peristiwa yang berhubungan dengan (RUU) No.5 Tahun 1985 tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila.
B.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami kaji dalam makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984?
2.      Bagaimana proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984?
3.      Bagaimana Penanganan kasus Tanjung Priok 1984?
4.      Apa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus Tanjung Priok 1984?

C.      Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984.
2.    Untuk mengetahui proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984.
3.    Untuk mengetahui Penanganan kasus Tanjung Priok 1984.
4.    Untuk mengetahui Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus Tanjung Priok 1984.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Latar Belakang Peristiwa Tanjung Priok 1984

·         Sebab umum
Ekonomi
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia yang spektakuler selama dasawarsa 1970-an, tidak berhasil menciptakan fundamen ekonomi nasional yang kuat. Hal ini dikarenakan dua pilar utama pembangunan yaitu ekspor migas dan utang luar negeri, sehingga ketika dunia mengalami krisis ekonomi dan turunnya harga minyak secara drastis di awal dasawarsa 1980-an, perekonomian Indonesia pun terpuruk. Tingkat inflasi juga mengalami peningkatan, pada tahun 1983 sebesar 13,52% dan pada 1984 menjadi 15,53% padahal pada tahun 1982 hanya 9,06%. Ini menyebabkan beban biaya hidup semakin berat. Awal dasawarsa 1980-an merupakan kondisi sulit bagi sebagian besar rakyat Indonesia untuk menjalani hidup kesehariannya.
Politik
Di bidang politik pada saat yang bersamaan juga sedang terjadi konstraksi antara pemerintah dengan ormas serta parpol Islam. Untuk menaklukkan kelompok-kelompok dan parpol Islam, pada tahun 1983 pemerintah menerapkan kebijakan asas tunggal, yaitu pada sidang umum MPR mengeluarkan ketetapan MPR No II/1983 tentang garis-garis besar haluan Negara bab IV D Pasal 3: “....demi kelestarian dan pengamalan pancasila, kekuatan-kekuatan politik khususnya partai politik dan golongan karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas..”
Akibat keputusan tersebut mendapat reaksi keras dari beberapa kelompok masyarakat diantaranya petisi 50 dan juga masyarakat Tanjung Priok. Karena berdasarkan keputusan tersebutsemua ormas dan partai yang ada di Indonesia harus memiliki kesatuan dan hanya satu asas, yaitu Pancasila. Maksud dari diterapkannya kebijakan ini adalah untuk mencabut ormas dan parpol Islam dari akar ideologinya, Islam. Hal ini tentu saja mendapat tanggapan dan tantangan dari ormas dan partai Islam. Kondisi ini semakin memperuncing konflik antara pemerintah dan ormas serta parpol Islam.
·         Sebab Khusus:
Di sekitar Masjid As-Sa’adah terpasang pamflet dan poster yang bersifat SARA’. Karena himbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu dihapus atau dicabut tidak dihiraukan, akhirnya seorang petugas Babinsa Kodim yaitu Sersan Hermanu pada hari jumat tanggal 7 September 1984, mencabut pamflet-pamflet tersebut dengan memasuki Masjid tanpa membuka sepatu dan melakukan pengotoran mushola dengan menggunakan air got. Apa yang dilakukan Sersan Hermanu tersebut menyulut kemarahan dari umat Islam di sekitar Masjid. Akibat dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Akan tetapi Hermanu tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada saat yang sama sebagian masyarakat yang sudah sangat emosi oleh sikap Hermanu akhirnya membakar motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu. Hermanu berhasil diamankan oleh pengurus Masjid dari kemarahan warga. Namun justru pihak kodim malah menangkap empat orang warga yang dianggapnya bertanggungjawab atas pembakaran motor petugas tersebut. Dan penangkapan keempat tersangka tersebut kemudian menjadi pemicu terjadinya peristiwa yang lebih besar.

Pada tahun 1984 Terjadi pengkritisan terhadap penerapan pancasila sebagai satu-satunya asas, pengkritisan terhadap pelarangan pemakaian jilbab terhadap remaja putri disekolah-sekolah, dan program berencana. Tepatnya pada tanggal 7 September 1984 Sersan Satu Hermanu, Bintara Pembina Desa (Babinsa) Kodim 0502 yang beragama Khatolik datang ke musholla As-Sa’adah. Dia meminta jamaah mencabut pamflet-pamflet yang menempel di Masjid yang bersifat SARA, yaitu mengkritisi penerapan pancasila sebagai satu-satunya asas, pelarangan pemakaian jilbab terhadap pelajar putri dan Keluarga Berencana.
Karena himbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu dicabut tidak dihiraukan,pada tanggal 8 September 1984 Sersan Satu Hermanu kembali mendatangi Masjid As-Sa’adah, karenaHermanu masih melihat poster-poster yang menghujat pemerintah ditempel di Masjid, kemudian iamasuk tanpa membuka sepatu dan memerintahkan rekanya melepas famplet. Karena susah membuka famplet, akhirnya Hermanu menyiram dengan air got, bahkan ia sampai menginjak Al-Quran dan menodongkan pistol kepada jamaah yang di musolla yang berusaha melarang perbuatanya.
Akibat dari perbuatan Hermanu, berita tersebut akhirnya menyebar keseluruh daerah priok danmenyulut kemarahan dari umat Islam. Dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Akan tetapi Hermanu tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, dan pada saat yang sama sebagian masyarakat sudah sangat emosi oleh sikap Hermanu, motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu dibakar. Hermanu berhasil diamankan oleh pengurus Masjid dari kemarahan warga.
Namun pihak aparat justru menangkap empat orang warga yang dianggapnya sebagai yang bertanggungjawab atas pembakaran motor petugas tersebut. Adapun empat orang itu adalah M. Noor sebagai orang yang memang bertanggung jawab atas pembakaran motor, kemudian Syarifudin Rambe dan Sofwan Sulaiman sebagai orang yang dituduh bertanggung jawab terhadap pembakaran motor, dan Ah. Sahi sebagai ketua Mushola As-Sa’adah. Penangkapan keempat tersangka tersebut kemudian menjadi pemicu terjadinya peristiwa yang lebih besar.
Pada tanggal 11 September 1984 Amir Biki salah seorang pimpinan Posko 66, dia adalah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Amir Biki menyampaikan tuntutannya kepada pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah, selambat-lambatnya pukul 23.00 malam hari itu juga. Namun usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Walaupun dalam suasana tantangan yang demikian, pada tanggal 12 September 1984 acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala As-Sa’adah tetap dilaksanakan. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubaligh dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung resiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan darijamaah kita).” Pada saat berangkat jamaah pengajian dibagi dua, sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris, beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun seperti karung goni. Setelah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD). Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Namun di sisi lain ada juga yang menyatakan bahwa peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984 adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban. Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga bukan tanpa survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh. Mayoritas  penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai isu.
Bahkan suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum peristiwa itu terjadi. Upaya-upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu yang sering memutar film maksiat yang  berdiri persis  berseberangan degan masjid Al-hidayah. Tokoh-tokoh islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung priok. Sebab, di kawasan lain kota di jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis islam para mubalighnya bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke tanjung priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama tanjung priok.

C.      Penanganan Kejadian
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Salah satu dari unsur hukum tersebut adalah adanya jaminan perlindungan dan penghormatan atas HAM. Yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dalam menangani kasus Tanjung Priok 1984 tidak semudah seperti menangani kasus pelanggaran biasanya, karena kasus Tanjung Priok ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM berat. Seperti yang tertera dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 104, yakni:
(1)   Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum
(2)   Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun
(3)   Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang
Selain itu, kasus Tanjung Priok 1984 ini merupakan kasus yang terjadi sebelum adanya undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sehingga kasus Tanjung Priok ini harus diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc, hal ini tertera juga dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 43 ayat 1 bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Hingga saat ini kasus Tanjung Priok masih belum dapat diselesaikan. Binsar Gultom seorang Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta, menyatakan bahwa kasus Tanjung Priok ini telah selesai, yang ditandai oleh pembebasan Sriyanto pada tahun 2005, serta Purnowo dan Sutrisno Mascung pada tahun 2006. Namun bagi para korban Tanjung Priok hal ini sangat tidak adil dan sangat mengecewakan, karena banyak aturan hukum yang mengatur tentang HAM, yang salah satunya yaitu terdapat dalam UUD 1945 BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 28I, hingga akhirnya para korban memutuskan untuk meminta perhatian dari Presiden. Kemudia pada bulan Maret 2006 Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan dari kasus Tanjung Priok 1984.
Adapun penanganan terhadap kasus Tanjung Priok ini, secara rinci dapat kami sampaikan melalui tabel di bawah ini :
Tanggal
Kegiatan
27 Agustus 1999
Press release KPKP (Koalisi Pembela Kasus Priok: Kontras, YLBHI, API, LBH Jakarta dan ALPERUDI) mendesak pemerintah untuk:
·         Mendesak PUSPOM untuk memanggil Soeharto dan LB Moerdani, Try Sutrisno dan pentinggi-petinggi mliter yang terlibat secara langsung kasus Tanjung Priok 12 September 1984 sebagai langkah awal pertanggungjawabannya
·         Memperlihatkan secara serius dan mengadili seluruh pihak yang terlibat dalam rangkaian pelanggaran hukum dan HAM atas kasus Priok mulai dari penembakan masal, pembantaian, penangkapan sewenang-wenang, pneyiksaan, intimidasi dan penghilangan orang baik sipil dan militer
3 Mei 2000
KPP HAM memeriksa Try Soetrisno dan LB Moerdani
Juni 2000
Komnas HAM menyerahkan hasil KPP HAM Priok kepada Kejaksaan Agung
11 Juli 2000
Berkas Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) dipulangkan Kejaksaan Agung ke Komnas HAM untuk dilengkapi kekurangannya
14 Oktober 2000
Hasil penyelidikan diserahkan ke kejaksaan Agung untuk kedua kalinya
24 Januari-19 Februari 2001
Pemeriksaan beberapa saksi korban dan keluarga di Kejaksaan Agung
Juli 2002
MA Rahman dalam sebuah pertemuan dengan DPR RI menjelaskan bahwa Kejaksaan Agung telah menetapkan 12 tersangka
14 September 2003
Pembacaan dakwaan terhadap Sutrisno Mascung CS di Pengadilan HAM Jakarta Pusat. Komandan regu III daroi Yon Arhanudse beserta 11 anak buahnya tersebut didakwa melakukan pelanggaran HAM yang berat meliputi pembunuhan, percobaan pembunuhan dan penganiayaan
23 September 2003
Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pranowo didakwa oleh jaksa telah melakukan pelanggaran HAM berat berupa perampasan kemerdekaan dan penyiksaan
30 September 2003
Dakwaan RA butar Butar dibacakan oleh Jaksa di pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Komandan Kodim tersebut didakwa melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan, penganiayaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang terhadap penduduk sipil
23 Oktober 2003
Sriyanto (Pasiop Kodim 0502) diajukan ke persidangan dengan dakwaan telah melakukan pelanggaran HAM berat meliputi: pembunuhan, percobaan pembunuhan dan penganiayaan
31 Maret 2004
RA Butar Butar di tuntutan 10 tahun penjara
30 April 2004
RA Butar Butar divonis 10 tahun penjara dan wajib memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban
3 Juli 2004
Pranowo dituntut 5 tahun penjara
8 Juli 2004
Sriyanto dituntut 10 tahun penjara
9 Juli 2004
Sutrisno Mascung CS dituntut 10 tahun penjara
10 Agustus 2004
Pranowo diputus bebas oleh Pengadilan Negeri
12 Agustus 2004
Sriyanto diputus bebas oleh Pengadilan Negeri
29 September 2005
Sriyanto dibebaskan oleh hakim Agung ditingkat Kasasi.
13 Januari 2006
Mahkamah Agung membebaskan Pranowo ditingkat kasasi.
28 Februari 2006
Sutrisno Mascung CS dibebaskan pada tingkat kasasi
6 Maret 2006
Kontras mengadu ke Komisi Yudisial.

D.      Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun 1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari awal masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.  Kemiliteran dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia. Kekuasaan penuh yang dimilki militer saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi politik. Fungsi kekuasaan  militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif. Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM paling berat sekalipun.
Menurut undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.




Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok. Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu:
a.       Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1.      Pembunuhan masal (genisida)
2.      Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
3.      Penyiksaan
4.      Penghilangan orang secara paksa
5.      Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis

b.      Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1.      Pemukulan
2.      Penganiayaan
3.      Pencemaran nama baik
4.      Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5.      Menghilangkan nyawa orang lain
Kasus Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat. Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 7 disebutkan bahwa, pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
1.      Kejahatan Genosida
2.      Kejahatan terhadap kemanusiaan
Namun kelemahan dari pasal ini adalah tidak adanya ketentuan tentang penyiksaan (torture) yang diatur secara mandiri. Sesuai dengan ketentuan hukum internasional, penyiksaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM sekalipun hal itu tidak merupakan bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil.
Adapun dalam laporannya Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Tanjung Priok antara lain, berupa:
1.      Pembunuhan kilat (summary killing).
Tindakan pembunuhan kilat (summary killing) ini terjadi depan Mapolres Jakarta Utara akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh satu regu dibawah pimpinan Sutrisno Mascung dkk. Para anggota pasukan ini masing-masing membawa peluru tajam 5-10. Akibat tindakan ini telah mengakibatkan 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan.
2.      Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention).
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dilakukan aparat TNI setelah terjadinya peristiwa Tanjung Priok yang dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Semua korban berjumlah 160 orang yang ditangkap tidak sesuai prosedur dan tanpa surat perintah. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis.
3.      Penyiksaan (torture)
Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat.
4.      Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance)
Fakta-fakta tindakan ini terjadi dalam tiga tahap, antara lain: pertama, menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui.Kedua, menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga, adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.












BAB III
PENUTUP

a.       Simpulan
Setelah menyelesaikan makalah, kami mengambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1.       Latar Belakang peristiwa  disebakan oleh sebab umum, yaitu ekonomi dan politik serta sebab khusus.
2.       Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 diTanjung PriokJakartaIndonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh munculnya ketetapan MPR No II/1983 tentang garis-garis besar haluan Negara bab IV D Pasal 3.Kemudian terjadi peristiwa perampasan brosur dan pamflet yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
3.       Kasus Tanjung Priok 1984 mengalami penanganan oleh pengadilan HAM dari tahun 26 Agustus - 6 Maret 2006. Hingga akhirnya para korban memutuskan untuk meminta perhatian dari Presiden. Kemudian pada bulan Maret 2006 Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan dari kasus Tanjung Priok 1984
4.       Kasus Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat. Adapun pelanggaran-pelanggaran tersebut berupa Pembunuhan kilat (summary killing), Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention), Penyiksaan (torture), dan Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance).


















DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, (2001). Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi Dan Supremasi Hukum
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

[2] ibid
[5] ibid
[7]    Ibid
[10] ibid
[12] ibid

1 komentar: